Selasa, 07 Agustus 2007

Connecting the Unconnected

Job & Karir Tabloid Aplaus the lifestyle
Edisi 52 ; 4 - 17 Agustus 2007

Teks oleh Erni Susanti dan berbagai sumber
Foto Istimewa

Bertanyalah bagaimana cara menciptakan gaya bekerjasama dalam tim. Bagaimana pula menyatukan konflik yang membudaya? Inilah yang gampang-gampang susah.

COBA pilih iklim (baca: suasana kerja) perusahaan mana yang anda sukai. Kalau perusahaan A terasa dinamika dan semangat di setiap ruangan, seolah kita tengah mengerjakan proyek organisasi atau ketika bergadang di ruang senat mahasiswa. Sementara perusahaan B anggotanya selalu pulang ‘teng-go' (tepat jam 5 sore), cenderung ‘cari aman' alias bersikap hati-hati. Meski lebih senior dan terbilang ngetop, dalam PT B dipastikan tak ada lagi yang namanya spirit kerja tim akibat perasaan dan reaksi orang-orangnya terhadap karakteristik dan kualitas kultur perusahaan.

Padahal gaya kerja atau cara kerja bekerjasama tim disepakati sejumlah pakar manajemen sebagai yang pa­ling disukai akibat sinergisme dari dua kepen­tingan, yakni tugas (=pekerjaan) dan manusia (=karyawan). Ciri-cirinya bagaimana?Gampang dikenali. Pertama, para pemimpinnya memberi perhatian yang tinggi terhadap tugas dan karyawan. Singkat kata, ia amat sangat menghargai orang lain.

Kedua, bila terjadi konflik, leader jenis ini mencoba menye­lesaikannya secara logis dengan menyelidiki akar permasalahannya. Ia selalu menjadi yang pertama dalam connecting the unconnected. Beliau berani memikirkan nasib anak buahnya secara manusiawi, tak hanya sebatas kata-kata alias lain di mulut lain di hati. Dalam banyak kasus ketika seseorang melihat ada orang yang konflik, punya kecenderungan malah dibiarkan, malah diperpanas, malah diaduin dari sini ke sana, dan sebagainya. Ini menunjukkan tidak adanya kepemimpinan. Kalau sampai hal ini terjadi, masalahnya adalah apakah ada leadership di situ (leadership di sini artinya mereka yang lebih senior, pihak atasan).

Tugas atasan adalah menyatukan konflik itu, ‘kan? Bertanyalah, bagaimana caranya? Inilah yang gampang-gampang susah. Menurut Rhenald Kasali PhD, Ketua Program Magister Manajemen UI yang makin berkibar saja berkat buku­nya, Re-Code Your Change DNA: Membebaskan Belenggu-Belenggu Untuk Meraih Keberanian & Keberhasilan dalam Perubahan (pasti anda punya koleksi karyanya yang lain, River Company, Change! (Tak peduli Berapa Jauh Jalan Salah Yang Anda Jalani, Putar Arah Sekarang Juga) atau 10 buku lain seputar bisnis, manajemen dan pemasaran 'kan?!-red), bisa dengan mengadakan pertemuan intensif, tatap muka, sampai kegiatan bersama agar dapat saling mengenal.


Positive = Productive
Yang tak kalah penting lagi adalah menciptakan suasana yang sifatnya positif produktif. "Misal, ruang kerja yang rutin, monoton, datar, harus dibuat menjadi lebih cheerful, menarik, lebih fresh, dan sebagainya. Barangkali dengan suasana musik yang lebih gembira, barangkali orang-orang yang produktif mendapatkan imbalan yang layak, sehingga semua orang merasa dihargai," bagi Rhenald. Orang itu konflik, menurut jebolan S2-S3 dari University of Illinois at Urbana-Champaign, Amerika Serikat karena merasa tidak dihargai, merasa diperlakukan tidak , orang itu merasa iri karena tidak paham mengenai orang lain, dia pikir orang lain lebih hebat dari dirinya. "Eksekutif jarang mengambil perhatian dalam masalah-masalah seperti itu (konflik). Desain atau struktur organisasi yang harus diperbaiki. Manajemennya, reward system-nya, leadership-nya, kulturnya. Bukan semua departemen di­pertemukan dalam satu forum, bukan (permasalahan) di-mapping. Ini ‘kan bukan permusuhan antar kelompok. Atau orang-orang tertentu yang menimbulkan konflik dipindahkan," urai tim juri pemilihan Putri Indonesia ini.


Face to Face
Bertanyalah, bagaimana caranya (lagi)? Masih menurut pengajar di FE-UI sekaligus host acara Solusi dan Bedah Bisnis di salah satu teve dan radio swasta nasional, kalau ada konflik, orang itu harus merubah komunikasi tertulis menjadi face to face, tatap muka. "Komunikasi tertulis kemungkinan bisa salah itu sangat besar. Dengan komunikasi face to face bisa segera mendapatkan feed back," solusi Rhenald.Meluangkan waktu lebih banyak, sehingga setiap orang akan saling memahami (seperti disampaikannya kepada Aplaus) juga tak kalah urgennya.

"Pemahaman itu akan muncul karena gelombang kita sama. Karena kita punya lebih banyak waktu untuk berinteraksi sehingga kita tahu dia maunya apa, kesulitan dia apa, bahasanya dia kayak apa, responnya kayak apa. Setelah mudah menyesuaikan diri, baru mereka melakukan komunikasi tertulis," tambah ‘alumni' wartawan grup Kompas-Gramedia yang kini kolumnis tetap Tabloid Kontan.


TRADISI KONFLIK
USAI konflik itu dibedakan apakah itu konflik organisasi (akibat desain atau budayanya) atau konflik alamiah, tanyakan, bagaimana jika konflik terjadi akibat desain organisasi? Ambil contoh, perusahaan itu adalah perusahaan yang ‘tertutup'.

"Tiap orang jadi asyik berkompetisinya ke dalam. Kita harus bawa orang-orang itu konfliknya jangan ke dalam. Ke luar dong. Berperangnya ke luar. Ngapain berperang sesama kita?" komisaris PT Indomobil Finance ini balik bertanya. "Tapi kalau itu konflik alamiah mau gimana lagi, manusia memang selalu punya tradisi konflik. Pasti ada-ada saja," sambung senior yang aktif membina beberapa Kabupaten untuk memajukan perekonomian. "Tapi kalau konflik itu sudah demikian keras, warisan sejarah yang bisa jadi karena desain atau tradisi dalam institusi itu harus putus. Di kampus (misalnya) konflik itu keras sekali. Antar jurusan, antar fakultas, antar orang dalam satu departemen. Itu biasa sekali karena adanya persaingan. Persaingan itu selalu akan menimbulkan konflik," cerita mitra kerja Prof Michael Porter (Harvard University) panjang lebar.

Pemutusan ‘Warisan Sejarah' Konflik ala Rhenald Kasali, PhD
1. Rumah (baca: perusahaan, organisasi, dsb.) harus dibongkar. Buat banyak jendela dan beri sinar matahari, supaya orang (yang terlibat konflik) bisa melihat ke luar, melihat matahari yang memberikan kedamaian, kehidupan.
2. Imbal jasa yang lebih baik, sehingga orang-orang merasa dirinya lebih sejahtera.
3. Nilai-nilai (budaya corporate dan sub corporate) diperbaiki.
4. Perlengkapi keterampilan; ada orang-orang yang menjadi kelihatan sangat terampil, itu bagus, tapi ada juga orang-orang yang ketinggalan, ‘kan?
5. Mulai ‘membersihkan' orang-orang yang berpotensi konflik karena jiwanya sakit; Ada orang yang punya kecenderungan melemparkan intrik, kejelekan yang lain, mempersalahkan, semata-mata karena dia ketinggalan. Ada orang yang sedari kecil mau diapakan juga dia tetap mendengki, ngomong negatif, merusak. Dengan psikotest, misalnya, kepribadian orang-orang bisa diukur.
6. Ciptakan integrater, orang yang mengintegrasikan diantara yang berkonflik; Buat teamwork antar departemen.
7. Pecahkan akar masalah; Jangan-jangan konflik terjadi karena desain organisasi yang keliru. Sekarang tinggal tergantung orang-orangnya, apakah cuma bisa membuat konflik ataukah saling melengkapi.Contoh lagi, orang dari suku tertentu yang sering berbenturan secara kelompok. Kalau terjadi benturan payah ‘kan? Kita harusnya ‘ngelawan' Barat, misalnya. Setiap perbedaan selalu akan menimbulkan konflik, toh? Entah itu karena kita beda etnik, beda agama, rejeki, itu semua berpotensi konflik. Tinggal tergantung orang-orangnya, kita bukan cuma bisa konflik dong, kita juga bisa saling melengkapi.


Best Practices
Dalam bahasanya Eileen Rachman, Direktur Executive Performance Development, Experd begini, mungkin tidak pernah disadari, tetapi budaya kerja yang berbeda itu ternyata melahirkan kualitas karyawan. Seorang pramugari (Singapore Airlines dan Lufthansa menjadi favorit Eileen-red), misalnya, bisa melayani pelanggan dengan profesional bila ia memahami konsep pelayanan yang ditawarkan perusahaannya dengan baik. Keragaman budaya Indonesia menurut penulis buku Gaul: Meraih Lebih Banyak Kesempatan ini membuat para pramugari mampu beradaptasi dengan baik, tapi soal kualitas kerja belum tentu. Jawabnya berpulang kembali, lebih ke sistem manajemen perusahaan itu.


Bagaimanapun, kita selalu bisa mempunyai obsesi untuk meningkatkan produktivitas sebagai individu, kelompok atau bahkan perusahaan. Motivator ini kerap menyarankan bacaan-bacaan mengenai ‘best practices' profesi dan perusahaan serupa, yang tentunya tak terbatas jumlahnya. Dari sini kita bisa menumbuhkan mood untuk maju, mentransfer, merealisasikan ide dan berobsesi untuk lebih sukses. Bukan saja entrepreneur seperti Martha Tilaar, yang berusia 70 tahun (tetapi semangatnya serasa 30 tahun), Henry Ford (Ford Motor Comp), Bill Gates (Microsoft Corp.), Larry Page dan Sergey Brin (Google) yang mempunyai kemampuan untuk memandang ke depan. Kita pun bisa menjaga agar tetap ber-spirit, menjalankan dinamika kehidupan ibarat seorang artis yang tak pernah berhenti: memperhatikan, berpikir, mengembangkan ide, bereksperimen, mencari ide baru, antusias, bekerja tak kenal waktu dan berupaya menciptakan sesuatu yang unik dan baru. Deretan manusia istimewa tadi mengisi kehidupan karir mereka dengan ‘passion' dan urgensi. Bukan dengan konflik, pastinya.Kiat


Menghindari Konflik*
-Kompromi; penting untuk menjembatani perbedaan, memahami seluk beluk masalah dengan sebaik-baiknya. Belajar dari pengalaman.
-Bersikap bijak; melihat lawan bicara yang posisinya sudah tersudut, bukan berarti kita harus menekan atau menyerangnya terus menerus. Hindari hal-hal yang tampaknya akan memperuncing konflik.
-Melakukan sinergi; memadukan dua kepentingan akan lebih menguntungkan, ketimbang main menang-menangan atau sok pintar.
-Menghindari dominasi; dengan bersikap hangat, bersahabat dan menghargai lawan bicara. Bukan bersifat egois, sok arogan, dan ngotot.

5 Gaya Individual Menghadapi Konflik*
1. Sang Pejuang Gigih (Gaya Pesaing); yang menggunakan gaya ini cenderung mengejar kepentingannya sendiri, tega mengorbankan kawan-kawannya. Kemenangan adalah jalan satu-satunya demi meraih tujuan.
2. Sang Pemecah Masalah (Gaya Kolaborator); yang bertipe ini berupaya keras menciptakan situasi yang memungkinkan semua kelompok mencapai tujuan masing-masing. Menemukan solusi yang bisa diterima semua pihak. Tidak melihat konflik dari sudut kemenangan atau kekalahan.
3. Sang Penyiasat (Gaya Kompromis); tiap individu yang terlibat konflik menurutnya mau menerima kekalahan, melalui "teknik mengalah". Ia membantu mereka dan mencoba menemukan posisi strategis sebagai penengah.
4. Sang Peramah (Gaya Akomodatif); meski kerap dinilai kurang tegas, sekalipun kooperatif, prinsipnya adalah selalu menegakkan keharmonian dan keselarasan hidup. Ia tidak bisa menerima tindak konfrontatif yang meledak-ledak.
5. Sang Penurut (Gaya Penghindar); orang yang menggunakan gaya ini memandang konflik sebagai sesuatu yang tidak produktif dan sedikit menyiksa batin. Itu sebabnya, bila konflik sedang marak, ia memilih menghindar.
* ‘cuplikan' Membangun Kultur Perusahaan, Wahyu Wibowo.


Kerjasama Tim Nyata**
-Baik bos maupun bawahan cenderung mencari rekan untuk diajak bekerjasama serta kepentingan perusahaan yang juga baik untuk diri mereka. Mereka memandang bahwa kegiatan saling memberi dan menerima sebagai rekan satu tim merupakan unsur penting untuk keberhasilan usaha mereka.
-Para bos bertanggungjawab memastikan "suara-suara" yang relevan didengar dan pandangan yang berbeda didiskusikan. Mereka menghargai orang-orang atas tindakan mereka yang membantu orang lain mengatasi dan menyelesaikan tujuan tim.
-Para bawahan mau memberikan tenaganya untuk mengetahui perkembangan tim mereka dan merasa bertanggungjawab untuk mengatasi kekurangan dan mengingatkan diri mereka sendiri saat mereka merasa ada seorang anggota tim yang memerlukan bantuan.

Komunikasi Terbuka**
-Baik bos maupun bawahan cenderung mengatakan kebenaran sesuai dengan penge­tahuan mereka dan mencari kebenaran seperti yang diketahui orang lain.
-Para bos tidak menutupi adanya pertentangan pendapat (konflik), mengadakan diskusi terbuka dan bebas sebelum mengambil tindakan. Mereka memberikan penjelasan atas keputusan yang diambil dan memastikan bawahan yang mempunyai pandangan berbeda merasa cukup dihargai dengan diberikan kesempatan untuk mengutarakan pendapatnya.
-Para bawahan berusaha terbuka dalam mengungkapkan pendapat mereka yang berbeda. Jika mereka merasa bahwa pendapat yang berbeda tersebut bisa mengancam dirinya, mereka berani meminta bantuan dari rekan kerja yang lain.


** Hasil dari Hubungan Tanggungjawab Dua Pihak dalam Don't Kill the Bosses! Samuel A Culbert, John B Ullmen.

Tidak ada komentar: