Kamis, 12 Juli 2007

Teguran Bertobat

Oleh :
Fr. Salv atore M. Sabato, OFMConv.

@ Harian Global, Kamis, 12 Juli 2007

“Sesungguhnya, aku ini terlalu hina/kecil; jawab apakah yang dapat kuberikan kepadamu, Elohim (Tuhan)? Mulutku kututup dengan tangan.” (Ayub 39:37). Dunia kita memang semakin dijangkiti beraneka masalah yang membahayakan. Semakin kritis keadaan yang dihadapi setiap hari, walaupun dari segi lain, kita membanggakan kemajuan teknologi yang tak kenal batas lagi. Segi lain yang perlu kita tangani bersama-sama: penyakit yang mengancam kemanusiaan sendiri.

Misalnya: setiap menit, 1,8 juta dolar AS dibelanjakan untuk persenjataan. Sementara itu, setiap jam, 1.500 anak mati kelaparan. Setiap tahun, berjuta-juta area hutan tropis dimusnahkan. Bangsa-bangsa kaya berjaya; bangsa-bangsa miskin terlilit hutang dan kelaparan. Inilah potret kelabu dunia yang, boleh dikatakan, sering terlepas dari tatapan kita. Manusia beriman sering diajak Tuhan untuk bertobat: “Celakalah engkau Khorazim! Celakalah engkau Betsaida, karena jika di Tirus dan Sidon terjadi mujizat-mujizat yang telah terjadi di tengah-tengah kamu, sudah lama mereka bertobat dan berkabung.” (Lukas 10:13).

Ayub, yang telah mengkritik perbuatan Allah, harus mengakui keterbatasannya; kota-kota yang telah menikmati dan membanggakan kehadiran Yesus dituntut bertobat. Ayub telah dibujuk oleh teman-teman dengan menyangkal bahwa Tuhan itu (Elohim) dapat menghibur dan menyembuhkan penyakitnya dan Tuhan itu tidak memahami derita dalam hidup manusia. Ayub bertobat dengan meninggalkan gaya berpikir tentang tingkah laku Tuhan dan ditolongnya dengan memandang kebesaran dan kebaikan Tuhan dalam keharmonisan alam semesta. Penderitaan Ayub menjadi kesempatan agar jangan memandang Allah itu sebuah payung, tetapi kita lah yang dilibatkan untuk memerangi keadaan buruk dan menyembuhkan borok-boroknya.
Kepada seorang anak muda yang terus-menerus mengeluhkan keadaan jelek di sekitarnya, Tuhan menyapanya: “Untuk apa Kuciptakan engkau?” Sikap para penduduk kota-kota (Khorazim, Betsaida, Kaparnaum) yang digunakan Yesus sebagai mimbar evangelisasi terulang dalam kehidupan orang, termasuk yang beriman. Tidak cukup keluhan, kata-kata yang mengkritik. Sabda Ilahi memberi kekuatan, rahmat untuk mengolah ciptaanNya, asal kita semakin sadar pada panggilan dan kedudukan masing-masing.

Janganlah terus-menerus bertindak sebagai anak Adam, tetapi sebagai anak-anak Allah. Hendaknya kita menolak apa saja yang memburukkan wajah dunia sebagai ciptaan Allah. Ayub dalam sikap hening dan diam menerima kembali kekuatan sabda Ilahi: “Aku ini terlalu kecil/hina.” Keadaan yang telah digambarkan di atas yang menimbulkan kesedihan dan kesulitan sebagaimana dialami Ayub, dapat mengarahkan kita pada kepekaan, kepedulian dan tindakan nyata untuk memulihkan kembali semangat dan perjuangan kita.

Mengapa terjadi semuanya ini? Banyak jawaban bisa diberikan kepada pertanyaan ini. Mungkin perlu diperhatikan juga bahwa manusia sering kehilangan nilai atas kehidupan sendiri, kehilangan kesadaran bahwa kita menuju Allah dalam suatu perjalanan yang sama; tidak sendirian, tetapi dengan manusia-manusia yang kita harus menyebut “sesama”; dengan saling mendukung dan saling menyemangati. Perjalanan di dunia tidak selalu lancar, sandungannya dan godaan tidak berkurang, tetapi kita memiliki pegangan: iman, rahmat dan pertobatan.



Dalam keadaan gelap, seperti pengalaman Ayub, di mana iman juga meraba-raba, Tuhan tetap memegang tangan kita dan memberanikan kita maju. Dunia ini bisa lebih baik, dapat dihuni dalam damai dan aman; bertobat dan berbuat baik.

Tidak ada komentar: