
Oleh : Sr. Maria Petra, PKarm
(Disarikan dari Seminar Rm. Pidyarto OCarm dan Rm. Sermada SVD)
PENDERITAAN dalam pelbagai bentuknya merupakan suatu misteri bagi manusia, banyak orang bertanya, “Dimana Allah? Mengapa Allah diam saja melihat bencana yang membinasakan sekian banyak orang yang tidak berdosa?” Sudah banyak usaha manusia untuk menerangkan misteri penderitaan. Bagi orang-orang Sumeria sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi, penderitaan dianggap sebagai akibat tindakan dewa-dewa yang bisa bertindak sewenang-wenang terhadap manusia. Dewa-dewa hanya mau menunjukkan keperkasaan mereka. Kalau terjadi penderitaan, itu disebabkan karena dewa lain lebih kuat daripada dewa orang itu sendiri.
Paham semacam ini kadang-kadang tampak juga dalam kisah dewa/i Yunani. Di situ digambarkan bagaimana manusia dapat menjadi korban permainan kuasa dewa/i. Dalam literatur Yunani kuno kata kerja “menderita” (pascho) pada umumnya mengalami akibat buruk yang disebabkan perbuatan dewa jahat atau perbuatan jahat sesama manusia. Dalam Alkitab, misteri penderitaan manusia (penyakit, bencana, kelaparan, peperangan dan lain-lain) mendapat jawaban, namun jawabannya tidak dapat simplistik—berupa satu jawaban saja. Penderitaan manusia adalah sesuatu yang kompleks sehingga tidak dapat dijelaskan dengan satu jawaban sederhana.
Kata “bencana” biasanya dimaksudkan musibah pada skala besar yang menyangkut banyak orang; namun tidak banyak berbeda dengan makna kata “malapetaka” dalam skala kecil yakni musibah atau hal buruk yang menyangkut seseorang atau sekelompok kecil manusia. Mari kita lihat dalam Kitab Suci. Alkitab mewartakan bahwa Allah adalah pencipta langit dan bumi beserta segala sesuatu yang ada di dalamnya. Kitab Kejadian 1-2 dengan jelas menunjukkan hal itu. Allah mengatur dan menguasai ciptaanNya dan sejarah manusia.
Dalam Wahyu 1:8 Allah bersabda: “Aku adalah Alfa dan Omega, yang ada, yang sudah ada dan yang akan datang, Yang Mahakuasa.” Ayat ini menyatakan diri, sifat Allah yang kekal, tidak berawal dan tidak berakhir. Dia itu ada pada masa lalu, pada masa sekarang dan tetap akan ada di masa yang akan datang. Gagasan kekekalan ini diungkapkan dengan dua cara: penggunaan gelar Alfa dan Omega, yakni huruf pertama dan terakhir dalam alfabet Yunani. Keadaan baik atau kesejahteraan manusia pada akhirnya dianggap sebagai hadiah Allah.
Misalnya dalam Kitab Mazmur: bumi ini memang penuh dengan kasih Tuhan (Mzm 119:64), hujan yang memulihkan tanah yang gersang (Mzm 68:10), panen yang melimpah serta ternak yang memenuhi bukit (Mzm 65), Tuhan yang membebaskan orang yang percaya kepadaNya dari macam-macam bencana, seperti kelaparan (Mzm 33:19), wabah yang berkecamuk (Mzm 91:3), dari musuh yang dahsyat (Mzm 64:2). Jadi berbahagialah bangsa yang AllahNya Tuhan, suku bangsa yang dipilihNya menjadi milikNya sendiri (Mzm 33 :12).
Bencana atau malapetaka yang menimpa seseorang atau suatu bangsa pada akhirnya dalam arti tertentu, berasal dari Tuhan, paling tidak ada dalam kontrol Tuhan. Terkenal ucapan yang berani dari Nabi Amos, “Adakah terjadi malapetaka di suatu kota dan Tuhan tidak melakukannya?”(Amos 3:6b; Amsal 16:4). Kalau suatu akibat buruk muncul dari perbuatan manusia, sebenarnya Dia dapat mencegah hal itu terjadi. Namun, seperti kata Paulus, Allah “menyerahkan” manusia ke dalam akibat-akibat buruk dari perbuatan dosa mereka (Rm 1:24-28). Menurut Paulus, kalau orang yang memuja berhala dapat jatuh ke dalam dosa-dosa lain yang menjijikkan, itu terjadi bukan sekadar hukum sebab akibat tetapi karena Allah aktif membiarkan hal itu terjadi. Bencana bisa berasal dari Tuhan dan bisa juga dari kejahatan manusia.
Kesempatan untuk Bertobat
Mari kita lihat lagi dalam Perjanjian Baru, apa kata Yesus mengenai bencana ini. Menurut Lukas 13:1-5, sekelompok orang Galilea dibunuh Pilatus pada waktu mereka menyembelih binatang kurban, sehingga darah mereka “tercampur” (entah dalam arti sebenarnya atau dalam arti simbolis), dengan darah binatang korban. Menurut paham yang umum di kalangan orang Yahudi pada waktu itu, bencana ini merupakan hukuman atas dosa-dosa mereka. Lalu Yesus memberi tanggapan seperti ini: “Sangkamu orang-orang Galilea ini lebih besar dosanya daripada dosa semua orang Galilea yang lain, karena mereka mengalami nasib itu? Tidak! KataKu kepadamu. Tetapi jikalau kamu tidak bertobat kamu semua akan binasa atas cara demikian.” (ayat 2-3).
Menurut Tobit 13:3-5, terbuangnya serta tersebarnya orang-orang Yahudi kemana-mana disebabkan oleh dosa mereka. Hukuman dari Tuhan ini harus menjadi kesempatan untuk bertobat agar Tuhan memulihkan keadaan mereka (ayat 6-10). Menurut Luk 13:1-5, bencana yang menimpa orang-orang Galilea yang dibunuh oleh Pilatus dan kematian 18 orang karena tertimpa menara di Siloan harus menyadarkan orang-orang Yahudi untuk bertobat dari dosa-dosa mereka. Dalam Kitab Wahyu, bencana yang menimpa dunia seharusnya menjadi kesempatan untuk bertobat, tetapi nyatanya tidak. Why 9:20, “Tetapi manusia lain yang tidak mati oleh malapetaka itu, tidak juga bertobat dari perbuatan tangan mereka…”
Akhirnya ada sesuatu yang amat penting dalam perkembangan wahyu Ilahi mengenai penderitaan dan bencana. Menurut Yes 52:13-53:12 ada seorang hamba Tuhan yang harus menderita, bahkan mengalami kematian yang kejam, bukan karena dosa-dosanya sendiri, melainkan karena dosa sesamanya. Jadi, bencana yang dialaminya menjadi silih untuk dosa sesama. Tokoh hamba Tuhan dalam Yes 52:13–53:12 itu terpenuhi dalam diri Yesus Kristus yang memang harus mengalami banyak penderitaan demi dosa-dosa kita (Mat 8:17; 1 Ptr 2:24-25; Kis 8:32 –35).
Setelah merenungkan uraian tersebut di atas dapatkah kita menyimpulkan apakah “Bencana berasal dari Tuhan atau kesalahan manusia?” Jawabannya jelas: biasanya bencana akibat dosa manusia. Bencana itu dimaksudkan untuk mengundang manusia untuk bertobat. Kadang ada bencana yang disebabkan oleh sesama, namun dipakai Tuhan untuk mendatangkan apa yang baik bagi kita. Kadang ada bencana yang perlu ditanggung untuk menjadi silih bagi dosa sesama atau dosa pribadi; bencana sebagai api yang memurnikan emas! Dalam Alkitab tidak pernah dikatakan bencana sebagai tindakan Tuhan yang sewenang-wenang. Namun sekali lagi kalau kita berbicara mengenai bencana dan kejahatan adalah suatu misteri yang besar karena Putra Allah sendiri telah mengalami bencana yaitu kematianNya yang menyelamatkan seluruh umat manusia! (diterbitkan Harian Global, Kamis, 28 Juni & 5 Juli 2007).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar