Senin, 25 Juni 2007

KOLOM RELIGI Katolik @ Koran GLOBAL (Setiap Kamis)

Jiwa Sejati Seorang Beriman
Oleh : P. Salvatore M. Sabato OFMConv.

“Anakku yang sulung, pergi dan bekerjalah hari ini dalam kebun anggur.” Jawab anak itu: “Baik, bapa,” tetapi ia tidak pergi. Lalu kepada anak bungsu: “Anakku, pergi dan bekerjalah hari ini di kebun anggur.” Jawab anak yang kedua ini: “Aku tidak mau,” tetapi kemudian ia menyesal lalu pergi juga. Siapakah di antara kedua anak itu melakukan kehendak ayahnya? (Matius 21:28-31).

Seorang turis asal Swiss tampak asyik mengamati topeng-topeng yang terbuat dari kayu. Pemandunya, seorang Indonesia, heran. “Buat apa topeng-topeng itu Anda beli?” Jawab turis itu, “Ya, sebenarnya tidak perlu membeli topeng-topeng ini. Kita sudah biasa bertopeng dan sudah punya banyak topeng.” ”Maaf,” kata si pemandu itu berlagak bego,“Apa yang anda maksudkan itu?” “Ya, kita sering bermuka manis-manis di depan orang lain, untuk menyembunyikan yang busuk. Tidak perlu kita ingkari. Marilah kita jujur saja pada diri sendiri.”

Kesetiaan pada Tuhan dan kebenaran penghayatan keagamaan dinilai bukan (atau tidak selalu) dari “ya” atau “tidak”, tetapi lebih dari gaya hidup, perilaku. Untuk mewujudkan dan menunjang nilai-nilai iman, keagamaan, kebebasan sejati dan cinta kasih, manusia beriman harus sering mengambil risiko. Atas pilihan dan penentuan dapat dinilai seorang itu beriman atau tidak. Keagamaan, sebagaimana terwujud di dalam hidup ber-Gereja dan bermasyarakat, boleh dikatakan, berlapis-lapis dan banyak ditentukan dari pengalaman pribadi secara pribadi.

Sering ajaran Yesus dan Gereja tidak menjadi pedoman nomor satu dan satu-satunya. Pengaruh filsafat, studi, kematangan atau tidak dari iman menentukan wajah orang beriman, kurang beriman, atau dirasa beriman benar. Perumpamaan ini berkaitan dengan kebebasan manusia dan secara khusus, sikap seorang beriman yang pada waktu itu terwakili oleh bangsa Israel.

Atas penolakan ini Yesus membuka diri terhadap manusia yang dianggap tersingkir atau tidak layak menurut pandangan bangsa terpilih untuk masuk kerajaan Allah. Kesetiaan kepada Allah harus dibuktikan dengan tingkah laku, bukan dengan kata-kata “ya” saja. Kata-kata Yesus, “Sesungguhnya pemungut cukai dan perempuan sundal akan mendahului kamu masuk ke dalam kerajaan Allah,” menelanjangi gaya keagamaan para pemimpin Israel, sambil menimbulkan ketegangan karena lapisan masyarakat yang digolongkan sebagai manusia yang mengatakan “tidak”, “tidak mau”, melalui pertobatan yang dinilai layak bagi Tuhan.
Keagamaan belum tentu terikat pada keramaian pada hari Minggu, devosi, novena, atau sumbangan. Hidup Kristiani harus selalu mengarah pada penghayatan iman yang terwujud dalam sikap dan sifat Injili. “Ya” iman harus menjadi “ya” dalam hidup, pengakuan iman harus dijadikan bukti melalui pengabdian, cinta kasih. Penghayatan iman dipertanggungjawabkan secara pribadi tanpa mencari alasan ataupun menunjuk kelemahan lingkungan atau petugas. Untuk menjadi anggota Kerajaan Allah yang layak, hendaknya kita hidup sesuai dengan kehendakNya, dengan iman nyata. Kata-kata orang beriman harus ditunjang dengan kesaksian. (Kamis, 22 Juni 2007)

Tidak ada komentar: