Senin, 03 September 2007


Fit Edisi 54

1-14 September 2007

GO ORGANIK!
Teks oleh Erni Susanti dan berbagai sumber
Foto oleh Amir dan Istimewa

Organik atau non organik, ya? Gampang. Lihat saja labelnya. Cuma yang lulus serangkaian tes dari lembaga yang diberi kewenangan oleh Departemen Pertanian yang mendapatkannya.


SEORANG teman yang sempat mengenyam pendidikan di bidang Environmental Management dari luar negeri sejak lama telah ‘mentransfer' pengetahuannya tentang pertanian organik kepada Aplaus. Waktu itu ia ‘ngotot' bilang (kira-kira seperti ini), "Teknik pertanian organik merupakan penyempurnaan cara bertani secara alami yang sudah ada sejak jaman nenek moyang kita. Agar hasilnya maksimal."

Ir Budiman ‘mengagung-agungkan' teknik pertanian organik yang memang unik. Bagaimana tidak. Setiap tanaman diberi perlakuan berbeda. Semua limbah seperti daun kering dan kulit buah diolah untuk menyuburkan lahan. Agar tanaman sayur tidak diserbu ulat digunakan air cabai. Untuk lahan yang ditanami buah apel organik lain lagi.

Ia memilih pupuk guano alias kotoran kelelawar (yang ditangani secara benar dan baik, tentunya), dan mengusir hama menggunakan bahan alami berupa daun pohon nimba yang ditumbuk, dicampur air, lalu disemprotkan pada tanaman apel tadi. Di pojok-pojok kebunnya pun diberi air dan lampu supaya hamanya jatuh.

Senang berbincang langsung dengannya, mendapat sedikit saja dari pengetahuannya, tapi apa daya kini ia tengah melanglang buana. Thank God, Aplaus telah mendapatkan segelintir pengetahuan seputar organik, termasuk yang kini tengah berkembang di luar daerah Medan (Brastagi, Sidikalang, dan sebagainya).

Seorang teman lainnya, A Ju, sharing kalau se­karang untuk sementara mereka tidak menanam tanaman organik mengingat kondisi lahan yang belum mendukung. Alasan ini juga didukung ahli dari Jepang yang sengaja didatangkan untuk memeriksa kondisi lahannya.

"Salah satu hambatan dalam pertanian organik adalah tanah dan air di lokasi yang akan dijadikan lahan organik sudah tercemar. Kalau dulu lahannya memang alami maka organik bisa langsung diterapkan. Namun kalau lahannya bekas lahan pertanian konvensional diperlukan waktu minimal satu tahun," timpal Henny Ciawi Tjia, Marketing Manager PT Indo Yasai Wisesa.

Masa Konversi
Misal, tanah yang ditanami cabai menggunakan pestisida, setelah itu ditanami ubi organik, tetap saja tidak organik lagi. Sebelumnya tanah itu harus diperiksa kandungannya, diperiksa sejarahnya 10 tahun yang lalu dipakai untuk menanam apa saja, misalnya

Satu tahun itu menurut ‘tukang insinyur' diperlukan untuk menyiapkan lingkungan tanah, perbaikan struktur, aktivitas biologi tanah, dan sebagainya, atau yang disebut masa konversi. Sistem organik tak bisa dipraktekkan juga kalau lahannya dikepung oleh lahan non organik. "Paling bagus kalau lahan organik berada di daerah atas di mana air yang berasal dari mata air yang belum tercemar," demikian wejangan Ir Budiman.

Kalau seperti ini, menurutnya, tak mustahil di tahun 2010 Indonesia akan menjadi salah satu produsen pangan organik utama dunia. Suatu ‘misi' yang cukup menguras tenaga, waktu dan pikiran memang, mengingat para petani tradisional sudah terlalu lama punya pemikiran kalau ingin panen sukses mesti memakai bibit rekayasa (unggul) pestisida nomor satu, serta agrokimia sintetis lainnya. Namun bisa jadi ‘beban' akan semakin ringan kalau kita mengetahui efek bahaya pangan yang mengandung pestisida (dari penelitian terbukti kalau pestisida terus menerus menumpuk bisa menyebabkan kanker sampai rendahnya IQ).

Meski fisik sayuran organik taklah sebagus yang non organik-ciri-cirinya daun sayuran bolong-bolong akibat termakan ulat-begini ceritanya, "Hewan, hama, juga ulat punya naluri tajam. Dia tidak mau sayuran yang beracun, yang berpestisida. Tetapi justru kita yang salah kaprah, suka sayuran bagus yang ulat saja tidak mau," lanjut Henny. Kalau pun menggunakan pestisida, derajat standard chemicalnya tidak boleh melebihi yang telah ditentukan.

Baik Untuk Kesehatan?
Istilah organik menunjukkan proses pemeliharaan atau penanaman suatu produk pertanian (brokoli, labu, bayam, wortel, tomat, beras merah, kentang, kacang kapri, kacang hijau, kacang kedelai, kopi, salak, alpukat, mangga, stroberi, ceri, dsb.) yang tidak menggunakan pestisida, pupuk berbahan kimia atau biji yang direkayasa secara genetika. Tak hanya itu, cara panen, packaging dan sistem pengirimannya pun mesti bebas bahan kimia.

The Food Standards Agency (FSA) mengatakan belum ada bukti yang menyebutkan sayuran organik baik untuk kesehatan. Namun berdasarkan penelitian memang ada beberapa nutrisi dalam makanan organik yang berbeda dengan non organik. Contoh, susu organik ternyata memiliki kadar asam Omega-3 lebih tinggi, tetapi menurut FSA susu ini memiliki asam lemak yang termasuk rantai pendek (short-chain fatty acids) yang kurang baik untuk kesehatan.

A Way of Life
Kalangan selebritis Indonesia-apalagi dunia-dalam beberapa tahun belakangan (sampai sekarang) terus menggilai produk ini. Ambil contoh Melly Manuhutu. Katanya dulu ia sering batuk-pilek. Selama mengonsumsi segala macam makanan organik, ia merasa lebih fresh, enak di perut, dan kulitnya menjadi bagus.

Malah akhirnya Melly pun terjun berbisnis beras, sayuran, kacang-kacangan, buah, umbi-umbian, ayam, telur, dried food organik impor dari Australia dan Jerman (garam, gula, susu, bihun, pasta, minyak goreng, dsb.), sampai berbisnis parsel makanan organik. Sophie Navita, pacar seumur hidup Pongki Jikustik juga ‘sealiran'. Mereka sekeluarga (bahkan sampai pembantunya) makan sayuran organik.

Konsumen organik tak dapat dipungkiri adalah pasar yang memiliki kesadaran kesehatan yang tinggi, yang memungkinkan mereka menjadikannya a way of life. Negeri tetangga, Malaysia, Vietnam, sampai Eropa lebih dahsyat lagi. Negeri Singa pun tak ketinggalan. Telah ramai outlet yang khusus menjual beragam produk organik (sayuran, buah, jus, dsb.).

"Rasa jusnya enak, tidak pakai chemical ‘kan. Mereka berani klaim jus itu organik. Tertulis dalam label ‘organically proven' begitu," cerita wanita yang sering bolak-balik Medan-Singapura.

Organic Fruit & Vegetables

+ Dapat melindungi kesehatan anda, keluarga dan generasi penerus anda (dengan kandungan nutrisi yang disebut-sebut 90% lebih tinggi dibanding non organik).
+ Turut melestarikan kondisi tanah yang subur, keragaman hayati, melindungi kejernihan air, mengurangi risiko kesehatan para konsumen produk pertanian.
+ Membuka lowongan pekerjaan bagi para petani, mengurangi risiko kesehatan me­reka.

- Harga mahal (bisa 2 atau 3 kali lipat dibanding sayur dan buah biasa). Sebenar­nya bisa lebih murah, kalau dibeli lewat komunitas organik, yang di Jepang disebut teikei (sejak era 1980-an).
- Masih jarang (penghasilnya) dan ragamnya masih sedikit (produksinya tergantung musim).
- Perlu banyak tenaga kerja, mengingat ta­naman harus satu per satu diperiksa. Dan petani perlu mengeluarkan biaya ekstra untuk mendapatkan sertifikat organik.

Agar Sayur & Buah Bersih
Buah-buahan dan sayur-sayuran perlu ‘dijaga' baik agar kandungan gizi di dalamnya tak terbuang percuma hanya karena cara mencuci dan teknik pengolahan yang keliru (apalagi yang organik, sayang ‘kan?!). Ada beberapa hal yang perlu anda perhatikan:

- Jangan membilas buah dan sayuran berkulit ‘lunak' seperti strawberry, atau sayuran yang mudah busuk seperti kentang dan bawang, sebelum disimpan. Bilas sayuran dan buah tadi ketika anda akan mengolahnya.
- Cuci dan gosok buah dan sayur berkulit ‘keras' seperti terong, paprika, mentimun, apel, dengan air dingin. Keringkan dengan cermat, agar tidak rusak akibat noda air sebelum disimpan di lemari es.
- Sayuran berdaun bisa disimpan di lemari es tanpa dicuci. Masukkan ke kantung plastik. Bilas dengan air sebelum dikonsumsi.

Tidak ada komentar: