Oleh : P. Stefanus Sitohang, OFMCap
Panggilan Tuhan senantiasa bersifat tegas, mendesak dan menuntut kesediaan tanpa syarat. Seperti ketika Yesus memanggil murid-murid-Nya yang pertama. Para murid-Nya pun bergegas meninggalkan segala-galanya dan mengikuti Dia. Dalam perikop Luk 14:25-33 kita mendengar Yesus berkata kepada para pengikut-Nya: “Jika seseorang datang kepada-Ku dan ia tidak membenci bapanya, ibunya, istrinya, anak-anaknya, saudara-saudaranya laki-laki atau perempuan, bahkan nyawanya sendiri, ia tidak dapat menjadi murid-Ku.”
Maksud Tuhan tentu saja bukan supaya kita sungguh membenci ayah, ibu dan kerabat kita, tetapi supaya kehidupan kita semua berporos kepada Kristus. Semua hubungan manusiawi dan harta dunia mendapat proporsi yang sebenarnya. Seluruh hidup kita harus tertuju pada Kristus, yang lain-lainnya hanya berarti dalam hubungan dengan-Nya dan menjadi nomor dua.
Mengapa Yesus memberikan persyaratan yang begitu berat untuk menjadi murid-Nya? Jawabannya jelas. Pertama, Yesus tidak mau para pengikut-Nya setengah-setengah alias setengah hati. Menjadi murid Yesus berarti bersedia menderita dan bangkit bersama Yesus. Syarat yang harus dipenuhi memang sangat berat, karena menuntut nyawa sendiri yang harus dikorbankan.
Kedua, justru menyatakan bahwa Dia satu-satunya pilihan bagi manusia. Memilih Yesus berarti segala-galanya, tak ada sesuatu pun di dunia ini yang mampu menyaingi-Nya. Dengan meninggalkan segala-galanya, tak ada lagi kekuatan dunia yang menghambat. Ia bebas untuk mempersembahkan segala-galanya kepada Allah demi keluhuran Tuhan dan kesejahteraan sesama.
Tuntutan Yesus demikian berat apalagi bila dikaitkan dengan gaya kehidupan manusia modern yang lekat dengan harta dan dipengaruhi pemikiran yang serba instan. Bukankah ini terlalu muluk-muluk? Kalau Tuhan berbicara tentang hubungan keluarga dan harta milik, maka yang pertama-tama Dia minta ialah perubahan mental. Kita mau menjadi manusia yang lebih simpatik, lebih sederhana dalam kata dan perbuatan, lebih mengutamakan mereka yang tidak memiliki apa-apa.
Kita berusaha membuka pintu hati kita selebar-lebarnya untuk orang lain, menyediakan waktu kita untuk mereka yang kurang beruntung hidupnya. Singkatnya, kita mau belajar menerima dan menanggung salib kehidupan dengan menaruh kepercayaan yang utuh akan penyelenggaraan Ilahi, dengan sikap rela dan terbuka, dengan lemah lembut dan rendah hati.
Mengikuti Yesus di zaman ini mungkin semakin sulit karena terlalu besar tantangan dan risikonya. Pertama, tantangan budaya materialisme, budaya konsumerisme dan hedonisme. Manusia saat ini tidak lagi dihargai karena kepribadian dan komitmennya, tetapi karena apa yang dimilikinya: rumah, mobil, deposito, jabatan, dsb. Semua itu bisa menjadi dewa baru bagi manusia dewasa ini, mengikuti Tuhan seutuh-utuhnya menjadi sulit.
Kedua, tantangan dan risiko yang datang dari mereka yang tidak menghendaki kehadiran kita. Karena mengikuti Yesus kita sepertinya senantiasa dimusuhi. Barangkali kita merasa terus diancam, diteror, diasingkan dengan pelbagai cara. Situasi ini bisa muncul secara intern maupun ekstern. Singkatnya, risiko senantiasa muncul dalam pencapaian suatu tujuan mulia sekalipun.
Mungkin kita termasuk orang yang bukan murid-Nya. Kita sama sekali tidak perlu malu atau merasa rendah diri mengakui hal itu. Memang Yesus menuntut yang tinggi-tinggi dari kita, hari demi hari, minggu demi minggu. Kita berhadapan dengan seorang guru yang keras, yang menuntut segala sesuatu dari diri kita, tetapi kita juga berhadapan dengan seorang guru yang penuh belaskasihan. Dia menegur Petrus bila perlu, berdoa baginya dan memandang dia dengan penuh cinta setelah dia jatuh dalam dosa. Kita tidak pernah ditinggalkan seorang diri dalam tuntutan ini.
Satu hal yang mungkin ditanyakan Yesus kepada kita pada saat ini ialah: “Setelah Anda mendengarkan tuntutan-tuntutan ini, apakah Anda mau mengikuti Aku atau mengundurkan diri?” Jawaban terletak pada kita. Sekiranya kita dapat menjawab dengan jujur dan penuh kerendahan hati, Dia akan memegang tangan kita dan berkata kepada kita sebagaimana dahulu Dia berkata kepada para murid yang pertama: “Mari, ikutlah Aku!”
Yesus memanggil Petrus bukan karena dia kuat, melainkan karena Dia menguatkannya. Mencintai Yesus berarti “memanggul salib” dan “melepaskan diri dari segala milik kita”. Bila bersedia kendati banyak rintangan, Dia juga menguatkan dan menopang kita dengan rahmat-Nya. Anda mau ditopang?