
Oleh: Sr Happy, DSA
(Kolom Religi @ Harian Global, Kamis, 23 Agustus 2007)
Bersyukurlah kepada Tuhan, sebab Ia baik. Bahwasanya untuk selama-lamanya kasih setianya (Mzm 107:1). Rasa syukur mendatangkan sukacita dan damai. Aku bahagia bukan karena namaku Happy (bahagia), namun karena syukurku yang mendalam atas segala sesuatu yang aku terima. Aku berterimakasih kepada Tuhan karena aku mengetahui bagaimana berterimakasih kepadaNya. Aku berterimakasih kepada Tuhan karena Ia mengajariku bagaimana berterimakasih.
Dari pengalamanku, saat dukacita, kecewa ataupun putus asa melanda, selalu saja ada sesuatu yang akan mengalihkan perhatianku pada sesuatu yang positif. Di saat aku menyadari hal itu, aku bersyukur kepadaNya.
Dua puluh dua tahun yang lalu, kedua orangtuaku mengalami suatu kecelakaan dan akhirnya mereka meninggal. Sudah tentu aku tidak bersyukur atas kematian pribadi yang sangat aku sayangi. “Sudahlah, rencana Tuhan selalu lebih indah daripada rencana kita,” begitulah kata-kata hiburan yang ditujukan kepadaku. Aku berontak dan marah. Diriku diliputi dengan tanda tanya, mengapa... mengapa... dan mengapa? Pada saat itu, tidaklah mungkin aku memahami konsekuensi dari kejadian tersebut, tetapi sekarang aku berterimakasih kepadaNya karena Ia telah membawaku ke tempat aku berada saat ini, di sini dan kini.
Ya, sesudahnya aku dapat bersyukur sebab Dia tidak pernah membiarkan kami anak-anaknya ‘yatim piatu’ dan bahkan kemudian Tuhan membimbing hidupku lebih dekat lagi denganNya. Pengalaman syukurku itu bukanlah suatu pengalaman yang terbilang unik. Mungkin banyak orang yang memiliki pengalaman yang lebih hebat dan luar biasa dariku. Di dalam pengalaman pribadiku tersebut, rasa syukur selalu membawaku lebih dekat dengan Tuhan. Di dalam Kitab Suci, kita dapat menemukan banyak cerita dan contoh yang mengungkapkan rasa syukur. Satu dari cerita tersebut yang menjadi favorit sekaligus sangat bermakna bagiku adalah cerita tentang ‘Kesepuluh Orang Kusta yang Disembuhkan’ (Luk 17:11-19).
Diceritakan bahwa salah satu dari kesepuluh orang kusta itu, setelah menyadari bahwa ia telah sembuh, dia kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring. Ucapan syukur itu memberinya suatu kesembuhan yang sempurna, sukacita dan damai. Di akhir perikop, Yesus berkata kepada orang itu, ”Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.” Jadi, orang itu disembuhkan dan diselamatkan dari penderitaan karena relasinya dengan Allah (Yesus). Relasi itulah iman. Dalam surat-surat Santo Paulus, ucapan syukur selalu menjadi bagian dari salam pembukanya (Rm 1:8; 1 Kor 1:4; Flp 1:3; Kol 1:3, dsbnya).
Rasa syukur menemani semua perjalanan misinya.
Di dalam kehidupan ini, kita menerima begitu saja segala sesuatu sebagaimana adanya. Kita pasrah dan pasrah. Bila kita tidak dapat berterimakasih atas hal-hal yang kecil dalam kehidupan, bagaimana kita dapat pernah berterimakasih atas hal-hal yang besar dan luar biasa? Bila kita tidak dapat berterimakasih atas hal-hal yang sederhana dari kehidupan, bagaimana kita dapat berterimakasih atas hal-hal menakjubkan dari kehidupan? Lalu, siapakah yang diuntungkan dengan ucapan syukur itu? Pertama tentunya orang yang memberikan ucapan syukur itu sendiri dan kemudian orang yang kepadanya kita berterimakasih.
Rasa syukur menciptakan suatu relasi dan pada akhirnya menciptakan komunitas. Pun ia menciptakan Gereja dan masyarakat. Sungguh, bila kita awali hari kita dengan ucapan syukur, ia akan berakhir dengan ucapan syukur pada Tuhan pula. Maka, inilah kebahagiaanku: ucapan syukur yang tak henti kepada Tuhan atas segala sesuatu yang aku terima. Lalu, sudahkah Anda (sungguh) bersyukur? Cobalah, dan saya pastikan, Anda akan selalu mengalami sukacita dan damai yang sejati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar